REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagai anggota forum ASEAN, Indonesia
melalui KBRI di Myanmar, siap memfasilitasi tim relawan kemanusian untuk
etnis Muslim Rohingya di negara tersebut.
Hanya saja, Kementerian Luar Negeri hingga saat ini, belum menerima satupun form, tim dari dalam negeri untuk diberangkatkan menjadi relawan. "Bagi tim relawan, dan observer, KBRI akan mencoba untuk memfasilitasi," ujar Dirjen Kerjasama ASEAN, I Gusti Agung Weseka Puja, kepada Republika, Kamis (26/7).
Gusti menyatakan konflik komunal antara etnis Buddha Arakan dan Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine itu merupakan pelanggaran HAM. Apalagi, Myanmar sedang berada di jalur keterbukaan.
Dia menjelaskan, ASEAN hingga sekarang belum terlibat dalam penyelesaian kekerasan yang telah menewaskan sedikitnya 78 orang etnis Rohingya tersebut. Termasuk saat pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN awal Juli di Kamboja. "ASEAN belum pernah membahasnya."
Tidak terlibatnya ASEAN, menurutnya bukan karena tidak mengetahui konflik tersebut. Hanya saja, mekanisme terlibatnya ASEAN dalam suatu persoalan harus melalui pembahasan antar sesama anggota forum negara se-Asia Tenggara itu. "Kita menunggu sampai ada yang mendorongnya ke forum," ujar Gusti.
Ditanya peran Pemerintah Indonesia terkait dengan konflik tersebut?. Jawab dia, anggota ASEAN tidak dapat melakukan intervensi ataupun turut campur atas suatu persoalan yang dialami oleh negara anggota lainnya.
Sebab sebagai negara berdaulat, Pemerintah Myanmar mengatakan masalah tersebut adalah konflik dalam negeri, yang tidak dapat dicampuri penyelesainnya oleh negara manapun.
Tetapi, keterbukaan pemerintahan Myanmar juga diharapkan untuk menjelaskan kepada internasional tentang kondisi dan situasi di wilayah yang sekarang ditetapkan sebagai zona militer itu. "Kami mendorong atas keterbukaan pemerintahan di sana (Myanmar), dan kami masih bisa percaya,".
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Sosial Politik dan Budaya KBRI di Myanmar, Djumara Supriyadi telah mendesak pemerintah junta militer Myanmar untuk membuka diri atas keterlibatan komunitas internasional dalam konflik tersebut.
Salah satunya dengan memberikan akses masuk bagi relawan, maupun pemantau dan media asing, ke Negara Bagian Rakhine. Namun, kata dia, desakan itu belum ditanggapi oleh pemerintah setempat.
Djumara menyarankan relawan Indonesia yang hendak memantau dan melakukan perbantuan terhadap Muslim Rohingya, agar berangkat atas nama perbantuan kemanusian, dan tidak mandiri.
Kata dia, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNOCHA, juga tengah melakukan upaya agar pemerintah Myanmar dapat mengizinkan para relawan dan pers asing masuk ke wilayah tersebut.
Hanya saja, Kementerian Luar Negeri hingga saat ini, belum menerima satupun form, tim dari dalam negeri untuk diberangkatkan menjadi relawan. "Bagi tim relawan, dan observer, KBRI akan mencoba untuk memfasilitasi," ujar Dirjen Kerjasama ASEAN, I Gusti Agung Weseka Puja, kepada Republika, Kamis (26/7).
Gusti menyatakan konflik komunal antara etnis Buddha Arakan dan Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine itu merupakan pelanggaran HAM. Apalagi, Myanmar sedang berada di jalur keterbukaan.
Dia menjelaskan, ASEAN hingga sekarang belum terlibat dalam penyelesaian kekerasan yang telah menewaskan sedikitnya 78 orang etnis Rohingya tersebut. Termasuk saat pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN awal Juli di Kamboja. "ASEAN belum pernah membahasnya."
Tidak terlibatnya ASEAN, menurutnya bukan karena tidak mengetahui konflik tersebut. Hanya saja, mekanisme terlibatnya ASEAN dalam suatu persoalan harus melalui pembahasan antar sesama anggota forum negara se-Asia Tenggara itu. "Kita menunggu sampai ada yang mendorongnya ke forum," ujar Gusti.
Ditanya peran Pemerintah Indonesia terkait dengan konflik tersebut?. Jawab dia, anggota ASEAN tidak dapat melakukan intervensi ataupun turut campur atas suatu persoalan yang dialami oleh negara anggota lainnya.
Sebab sebagai negara berdaulat, Pemerintah Myanmar mengatakan masalah tersebut adalah konflik dalam negeri, yang tidak dapat dicampuri penyelesainnya oleh negara manapun.
Tetapi, keterbukaan pemerintahan Myanmar juga diharapkan untuk menjelaskan kepada internasional tentang kondisi dan situasi di wilayah yang sekarang ditetapkan sebagai zona militer itu. "Kami mendorong atas keterbukaan pemerintahan di sana (Myanmar), dan kami masih bisa percaya,".
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Sosial Politik dan Budaya KBRI di Myanmar, Djumara Supriyadi telah mendesak pemerintah junta militer Myanmar untuk membuka diri atas keterlibatan komunitas internasional dalam konflik tersebut.
Salah satunya dengan memberikan akses masuk bagi relawan, maupun pemantau dan media asing, ke Negara Bagian Rakhine. Namun, kata dia, desakan itu belum ditanggapi oleh pemerintah setempat.
Djumara menyarankan relawan Indonesia yang hendak memantau dan melakukan perbantuan terhadap Muslim Rohingya, agar berangkat atas nama perbantuan kemanusian, dan tidak mandiri.
Kata dia, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNOCHA, juga tengah melakukan upaya agar pemerintah Myanmar dapat mengizinkan para relawan dan pers asing masuk ke wilayah tersebut.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar